Rabu, 19 September 2012

Bintang Kebanggaan

Ketegangan yang amat mendalam nampak dari wajah mereka. Tangan-tangan lembutnya bergetar seirama dengan detak jantung yang tak lagi teratur. Belum sempat mereka menenangkan diri yang sedari tadi menunggu-nunggu hasil jerih payah sebelum perpulangan, tiba-tiba terdengar melengking pengumuman yang bersumber dari perpustakan, "for all student NurIsTa level nine..................................."
Bergegaslah mereka menuju ke halaman sekolah sambil membawa berjuta rasa yang berbeda-beda. Ada yang nampak santai, adapula yang gelisah. Kemudian datanglah dengan langkah tegap seorang ustadz yang memegang microfon di tangan kanannya. Dengan suara lantang mengatur mereka untuk segera berbaris. Putri berbaris di sebelah kanan, sedang putra berada di sebelah kiri dengan posisi lebih ke depan sejauh tiga langkah. Mereka berbaris sesuai kelompok warna kocard yang dipakai. Beberapa saat mereka berdiri di bawah teriknya mentari yang kian menyengat. Namun mereka tetap bersemangat  mendengarkan wejangan yang di sampaikan oleh sang ustadz.

Dimulai dengan sebuah sapaan menggema selama setahun tidak genap itu, berbunyikan:
Ustadz: "Apa kabarnya hari ini?"
siswa: "Alhamdulillah...!!! Luar biasa....!!! Tetap semangat....!!! Allahu akbar....!!!
Ustadz: "Siapa kita???"
siswa: "Insan kamil, siap jihad."
Ustadz: "Bagaimana hasilnya????"
siswa: "InsyaAllah sukses.
Kemudian dilanjutkan dengan slogan pembakar semangat yang menambah panasnya jiwa-jiwa mereka.
Ustadz: (dengan lantang dan menantang) "Sukses UN?!!!"
siswa: (serempak kompak dengan gaya yang dipadukan)
          "One Spirit".... (sambil mengankat telunjuk tangan kanan)
          "One Goal".... (sambil menelangkupkan kedua tangan ke depan)
          "Fight Together".... (sambil menggumpalkan jari-jari tangan kanan dan mengangkatnya ke depan)
          "Yes We Can,...Yes Yes We Can... ,(sambil memvariasikan tepukan tangan dengan menyilangkan   
            kedua tangan ke dada)
          "Allahu Akbar."....(kembali menggumpalkan jari-jari tangan kanan dan mengangkatnya ke depan)

Di bawah terik yang makin menyengat, ketegangan itu mampu mengalahkan panasnya siang. Dari balik ruang nampak seorang ustadzah yang berjalan mendekat menuju tempat apel. Pada tangan kanannya terlihat menenteng dua lembar kertas HVS yang disatukan dengan isolasi sehingga terkesan lebih panjang. Kertas dengan tulisan warna-warni itu dia serahkan kepada Ustadz yang memimpin apel. Kemudian ada satu ustadzah lagi yang membawa kantong plastik transparan, sehingga terlihat jelas kilauan dari bintang-bintang imitasi yang di desain sebagai pin penghargaan. Dengan senyuman yang melebar, dia pun menyerahkan kantongan plastik itu ke tangan Ustadz tadi. Lengkap sudah bawaan sang ustadz sebagai penambah ketegangan di siang itu.
Tanpa berpanjang lebar lagi, dengan microfon yang sedari tadi ada di tangan kanannya. Akhirnya beliau memanggil nama-nama siswa tertentu, untuk kemudian diminta maju ke depan. Ya....benar saja merekalah para peraih bintang. Bintang kebanggaan di lingkungan civitas akademika NurIsTa. Terpancar raut wajah penuh ceria bagi mereka-mereka penyandang kilauan pin bintang. Namun wajah tegang itu belum selesai, bagi mereka-mereka yang masih berada di barisan seperti semula. Seluruh siswa diminta melepas kocardnya, pertanda akan segera diumumkan peralihan warna pencapaian dari masing-masing siswa.
          

Selasa, 18 September 2012

Awal Masa Itu (Ketidak-pahamanku)

Berawal dari sebuah takdir yang mempertemukan kita di tempat yang sejuk "kampus-hijau" di pinggir anak sungai bengawan solo. Kehadiranku selisih waktu denganmu. Kau dan sebagian teman datang lebih awal. Bisa dikata cukup jauh sebelumku. Selang waktu dua pekan aku hadir bersama teman yang lain yang juga bernasib sama denganku, "terlambat-hadir". Karena kami tertinggal dan akhirnya tercatat sebagai pendatang baru, maka kami diminta berkenalan satu per satu di depan kelas di ruang 3104 gedung B lantai dasar. Begitupun aku memperkenalkan diri dengan cukup jelas. Hingga muncullah berbagai macam pertanyaan mulai tentang hari lahir, status, domisili dan lain sebagainya. Aku pun menjawab dengan santai tanpa mengingat siapa yang bertanya. Detik itu aku belum mengenalmu, bahwa yang pertama kali menyapaku dengan senyuman manis pun juga bukan dirimu. Tetapi seseorang yang saat itu kuanggap sebagai orang yang cukup welcome dan simpatik kepadaku. Dan sialah yang menjadi teman pertamaku, bukan kamu.

Waktu berjalan kedepan mengiringi kebersamaan kita, Begitu cepat terasa karena kita disibukkan oleh dunia pembelajaran yang berbeda jauh dengan saat menempuh pendidikan di SMA. Kita dilatih mandiri dan sedikit individualis, ditambah lagi jurusan yang membuat para civitas akademiknya nampak begitu serius dan spaneng. Oh My God (Allah SWT), bahkan di awal semester itu mampu membuatku menjadi sosok yang dingin, karena sangat sibuk dengan tugas dan laporan. Apalagi saat aku memutuskan untuk bergabung dalam dua organisasi sekaligus, yang keduanya cukup besar dan eksis di kampusku. Serasa tak ada lagi jeda untuk memikirkan perasaan. Toh kalaupun ada selintas pemikiran sedikit saja tentang ketertarikan, itu hanya sesaat lalu menghilang.

Kau memang nampak agamis dan cerdas, hingga sempat aku mengagumimu. Tapi kau begitu kocak, lucu, dan pandai membuat suasana kelas yang dingin menjadi heboh. Kau sering membuat kami tertawa dengan lagak kepolosanmu. Sifat unikmu itu membuatku tak mempunyai keberanian untuk menilai kepribadianmu, karena kau memang menjadi sosok yang sulit diterjemah. Kau nampak begitu akrab dengan teman-teman yang lain, tapi tidak denganku. Kau sering tertawa lepas dengan mereka, tapi tidak denganku. Yang kuingat hanya sekali kau mencoba akrab denganku, dengan dalih meminjam penghapus dan penggaris. Kau menanyakan asal usulku, dan mencoba meledekku dengan bercandaan khas bawaanmu. Sedikit tidak ngeh, merasa heran, dan tidak percaya bahwa kau ternyata mau bercanda denganku. Hal itu membuat perasaanku bebeda dan bertanya: Tumben???. Tapi episode semacam itu cukup membuatku bahagia karena bisa menertawakan kekonyolanmu secara langsung yang kau tujukan padaku, tidak seperti biasanya yang hanya bisa duduk diam ditempat yang berjarak dan menyaksikan betapa lepasnya guyonanmu bersama teman-teman yang lain, hingga membuatku ikut tertawa tipis tanpa berani masuk ke dalam dunia kalian.

Suatu saat kita menjadi satu kelompok dalam praktikum salah satu mata kuliah. Kelompok kita terdiri atas 6 orang, dua putra dan empat putri. Dimana ada salah satu judul praktikum yang memaksa kelompok kita untuk berbagi tugas, sehingga dipecahlah kelompok kita menjadi dua bagian. Ada dua pilihan kala itu, memilih untuk bergabung menjadi satu tim keja denganmu atau memilih menjadi satu tim dengan teman pertama yang kukenal yang telah kuceritakan di awal tadi. Sebut saja "dia". Tapi dalam pemilihannya pun ternyata banyak yang memilih dia, termasuk akupun memilih dia. Ku tangkap raut muka yang kecewa di dirimu. Sedang dia tesenyum dengan bangga. Kemudian dialah yang meminta untuk sebagian yang lain menjadi satu tim denganmu. Dan keputusannya aku tetap menjadi timnya bukan timmu. Setelahnya aku kerja tim dengan hati yang tak nyaman. Aku tak tau kenapa, yang jelas tiba-tiba muncul perasaan bersalah atas perubahan raut mukamu tadi. Hmmmmm entahlah......

Lambat laun aku merasa simpatik kepadamu, cuma sekedarnya tidak lebih. Hingga suatu ketika, tepat saat paraktikum di lab prodi lain. Ya...lagi-lagi saat praktikum, tapi praktikum kali ini aku bukan satu kelompok denganmu. Meskipun begitu meja praktikum kita berdekatan. Sembari menyelesaikan judul yang harus saya praktikkan untuk menghasilkan data yang akurat, entah kenapa seperti biasa mata dan telingaku tertuju ke kamu yang lagi asyik bercandaan dengan teman-teman yang sebenarnya juga bukan kelompokmu. Sesekali kau membuatku tertawa, lagi-lagi tanpa bisa masuk ke dunia kalian. Bagiku itu hal biasa, toh aku menikmati guyonanmu itu walaupun bukan denganku. Karena aku memang sudah terbiasa mencuri-curi suara untuk bisa ikut kudengar. Detik itu pula disela-sela bercandaanmu itu, ada teman yang mencoba mengorek info tentangmu (entah disengaja atau bukan, akupun tak tahu). Teman itu menanyakan tentang kriteria wanita yang kau dambakan. Dan lagi-lagi entah kenapa aku jadi ikut penasaran untuk mengetahui jawabanmu. Dari posisi yang cukup jauh ku lihat kau menjawab dengan malu-malu khas senyum di bibirmu. Yang kudengar, kau mengatakan bahwa kriteria wanita pilihanmu adalah yang berambut panjang. Entah serius atau guyonan pun aku tidak tahu. Yang jelas, tanpa kusadari aku membayangkan rambut yang kututup jilbab itu. Dalam hati tersenyum, karena saat itu rambutku memang panjang. Dalam batin aku juga, toh kamu juga tidak tahu, rambutku panjang atau pendek karena memang terlindungi oleh hijab. Dalam ingatanku, saat kau memberi jawaban atas pertanyaan tadi, kau sedikit melirik ke arahku. Entahlah, mungkin tidak dan mungkin aku salah lihat atau bahkan salah sangka.

Sejauh itu, aku masih fokus dengan kuliahku. Hidupku dipenuhi tugas dan laporan. Suatu waktu aku harus menyelesaikan tugas kelompok yang harus diketik. Sedang saat itu aku belum punya komputer sendiri, sehingga harus mengerjakan di kosan teman. Sesampainya di sana ku lihat mereka telah berkumpul dan sudah memulai tugasnya. Baru saja aku duduk, tiba-tiba telah di desak oleh sebuah petanyaan yang justru membuatku bertanya balik. Karena aku memang bingung untuk menjawabnya. Mereka menanyakan, adakah seseorang yang aku suka di kelas kita?. Belum sempat aku menjawab, mereka kembali menanyakan siapa? Kemudian sebelum kumenjawabnya, kulontarkan pertanyaan kenapa? Mereka menjawab "tidak apa-apa, jawab saja". Semua mata tertuju padaku, membuatku bingung dan salah tingkah. Jawaban yang keluar dari mulutku adalah "tidak ada". Ya memang itu jawaban yang sebenarnya, karena sementara itu aku tidak berfikir lebih untuk suka terhadap seseorang, apalagi teman sekelas.

Hingga suatu saat kau tiba-tiba diterima di sekolah tinggi lain, yang mungkin memang lebih kau inginkan dalam rangka mewujudkan cita-citamu. Begitu banyak teman-teman yang merasa kehilanganmu. Kau mungkin tidak tahu, bahwa akupun merasa sangat kehilanganmu sama seperti mereka, tapi aku tak berani dan tak yakin untuk mengatakan lebih dari yang mereka rasakan. Walau mungkin aku bukan bagian dari teman-taman yang termasuk akrab denganmu, dimana sebagian besar dari mereka adalah teman-teman wanita kita. Namun entah kenapa, waktu itu kurasakan seperti ada yang akan hilang. Hingga ada usulan dari salah satu teman kita untuk memberi kenang-kenangan yang berharga dan bisa menjadi memory kebersamaanmu selama bersama kita. Kami tuliskan biodata masing-masing, disertai foto, kesan dan pesan yang kemudian disatukan dalam satu binder. Yang aku sesali saat itu adalah, kenapa aku tidak punya foto yang pakai hijab yang bisa aku berikan ke kamu. Malah foto ijazah yang memperlihatkan rambutku. Dalam pikirku yang masih terlintas hingga saat ini, harusnya dulu tak perlu ku beri foto. Tapi semua sudah terlanjur, dan kau satu-satunya teman putra yang tau rambutku. Ya...sudahlah, toh aku tetap tak berani kalau harus mengatakan foto itu adalah takdir.

Kau tau, apa yang terjadi setelahnya kau pergi. Aku merasa tersingkirkan, ketika teman sekamarku sendiri saja masih menjalin komunikasi denganmu. Dia sering mengabarkan keadaanmu, tanpa dia tau bahwa aku iri. Kenapa aku tidak punya kontak kamu sendiri padahal yang lainnya punya. Serasa tak ingin mendengar kabar tentangmu dari mereka. Sudah tak ingin lagi mendengar tentangmu, kalau harus hanya menjadi pendengar dari cerita-cerita mereka. Suatu saat aku berjalan dengan sahabatku dan diikuti oleh seorang teman yang menjadi salah satu teman yang akrab dengamu. Dia juga salah satu dari mereka yang pernah menanyakan siapa orang yang kusukai di kelas. Telah lama pertanyaan itu berlalu dan akupun sudah lupa. Ditengah perjalanan pulang ke kos, tiba-tiba dia menanyakan kembali, jawabanku pun tetap sama. Kemudian dia melanjutkan ke sebuah pertanyaan lain yang membuatku kaget dan tercengang. "Kalau teman sekelas kita ada yang suka padamu, bagaimana? Mau tidak?" itulah pertanyaannya. Dengan rasa tak percaya sekaligus takut dibohongi, aku mengelak dengan kata yang keluar dari mulutku adalah "tidak mungkin, emange siapa??" Akupun disuruh menebak, dan aku tetap menolak untuk menebak. Sehingga yang menebaknya justru sahabatku. Berkali-kali dia salah tebak nama...hingga namamu pun di sebut di urutan terakhir dengan nada keheranan, karena mungkin memang posisimu pun sudah tak lagi kuliah bersama kami. Tebakan terakhir itu membuatnya tersenyum lalu mengangguk. Entah kenapa ekspresiku waktu itu nampak datar. Justru yang heboh malah sahabatku. Sembari dia meledekku, dia bertanya lagi. "Gimana? Kamu sendiri gimana?" Jawabku hanya simple, wallahu 'alam lagipula dia kan jauh disana.

Entah keberanian darimana yang kudapatkan, tiba-tiba aku punya ide untuk mencari tahu nomer hpmu. Mungkin karena didera rasa penasaran yang nggak penting. Saat itu pun aku belum paham betul etika berinteraksi dengan lawan jenis dalam hukum Islam. Tapi sejak dulu saya memang sudah tahu bahwa pacaran itu hukumnya haram dan selama itu pula aku belum pernah pacaran dengan seorang pun. Hanya saja belum mampu memahami betul batasan-batasan interaksi tersebut. Kurasa smsku pun tidak menjurus ke arah itu. Bahkan aku hanya salam sapa layaknya teman lama yang ingin tahu kabar kawannya, tak lebih. Namun, ternyata caraku salah. Harusnya aku tahu, kalau seseorang telah ada rasa khusus ke lawan jenis, pastinya sms yang isinya biasa saja maka akan nampak luar biasa. Begitupun kurasa dirimu yang tak jauh beda dengan pemikiranku. Buktinya selang beberapa waktu tiba-tiba kau sms dengan bahasa yang tak biasa. Berupa sindiran yang menyiratkan ketertarikan. Dan jujur saja, sebagai wanita biasa yang waktu itu pun bentengku belum sekuat sekarang, maka luluhlah hatiku. Kata-kata cantik itu datang darimu, sesosok orang yang memang sudah ku kagumi sejak awal masuk kuliah. Walau mungkin sebelum sms itu hadir, hatiku tidak serta merta menaruh rasa. Tapi ternyata hadirnya smsmu yang penuh makna itu membuatku terperangkap sebuah kata yang sulit didefinisikan yaitu "CINTA". Benarkah cinta??? awalnya akupun belum percaya dengan hatiku sendiri, hingga lama-lama aku merasakan betapa beratnya memendam rindu. Dan betapa anehnya ketika hatiku tak berpaling sedikitpun ke yang lain. Padahal dengan jelas kita jarang berkomunikasi. Bisa saja dikatakan ke dalam kategori tidak pernah. Namun ternyata sejauh waktu berputar, 5 tahun sudah sejak kepergianmu tak bisa aku berhenti mengingatmu. Namamu tetap merajai hatiku. Hal itu membuatku bersedih dan meratapi diri sendiri. Dalam akal sehatku berkata: "Bisakah aku berhenti mengingatimu dan mengharapkanmu? padahal Allah SWT lah yang lebih menyayangiku, yang setiap saat selalu ada di sekelilingku. Mengawasi dan menjagaku, Mencurah limpahkan kasih sayang yang tiada bandingan. Astghfirullahal'adzim....berkali-kali ku ucapkan, lumayan efektif untuk mengurangi rasa yang terlanjur dalam. Namun tetap saja tak bisa 100% hati dan otakku ini lepas dari mengingatimu.

Hah.....aku telah berusaha agar hati dan jiwaku ini bersih dari mengingati makhluk ciptaanNYA. Ya....tentunya kamu yang aku maksud. Tapi mungkin usahaku kurang maksimal atau mungkin caranya yang kurang optimal. Hingga terkadang aku masih membuka celah-celah tentangmu di hatiku, sekalipun tanpa hadir bayangmu. Yang kutanyakan: "Bagaimana bisa?, kau yang begitu singkat mampu menjelajahi hatiku hingga terlalu lama dan tak tahu akankah berakhir atau untuk selamanya".
Wallahu'alam bisshoaf...
Kini aku pasrahkan hatiku dan takdirku pada Illahi, karena Dialah yang kan memberikan segala yang terbaik yang aku butuhkan.

Ya Allah Ya Rachman Ya Rachim,,, yang maha membolak-balikkan hati, semoga hidayah taufikMU senantiasa tercurah limpah kepada hamba dan orang-orang yang hamba sayangi.
Aamiin...Yaa Rabbal .Aalamiin.

Selasa, 11 September 2012

Sahabat Kecilku, (My Java Beach)

Deburan ombak yang menghantam butiran pasir di tepian pantai terdengar syahdu. Menenangkan setiap penikmat hamparan alam. Gelombang yang tenang dan menggulung panjang nampak di balik papan penutup dapur rumah kami. Anginnya pun tak mau kalah, turut andil  dalam menggoyangkan daun-daun waru, sehingga membuat irama penentram jiwa, menjatuhkan bunga-bunga warna kuning tua. Siang itupun terik matahari menyumbangkan sinarnya yang memantul ke atas lautan dan membentuk kilauan bak permata. Begitulah gambaran suasana di wilayah pantai utara Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan propinsi Jawa Timur.

Disetiap harinya kujalani hidupku dengan rutinitas yang cukup padat bagi manusia kecil sepertiku. Namun demikian tak mengurangi keceriaan yang senantiasa mewarnai setiap detikku. Sekali waktu dalam sehari ku tengok pantai itu, hanya sekedar menyumbang cerita padanya bahwa hariku indah, hariku buruk, hariku mengesankan, dan hariku menyedihkan. Karena bagiku pantai telah menjadi ruang yang ikhlas menerima setiap keluh kesahku. Dalam imajinasiku, dia selalu tersenyum balik ketika ku lempar senyuman manisku. Dia menerima dan menenangkanku dalam setiap teriakan amarahku. Sungguh pesona laut telah menghanyutkan rasa cintaku, hingga berlabuh sampai sekarang.

Nuansa penuh kenangan bersama sahabat-sahabat kecilku. Kami habiskan sisa waktu yang sedikit di sore hari, sekedar untuk bermain dengan si ombak biru. Gelombangnya mengguyur sekujur tubuh kami, hingga basahpun tak lagi menakuti. Nyaman dirasa bergelut dengannya, menyumbang kisah yang lekat dalam memori. Suatu masa, kami sungguh bersuka cita tatkala banyak ikan yang kami temukan mengambang di permukaannya. Entah darimana datangnya. Pikir kami, ikan-ikan itu adalah buangan dari kapal yang kelebihan muatan. Tanpa berfikir panjang lebar, kami punguti ikan-ikan itu dan kami satukan dalam bakul kecil bekas kondangan. Kami pun pulang dalam kebanggaan seorang anak kecil. Bersama-sama kami sayat ikan-ikan itu, membelah menjadi dua bagian, kemudian kami gantung di jemuran dengan tujuan membuat ikan-ikan itu menjadi gereh (ikan kering) yang siap masak.

Tak selalu menyenangkan tatkala bergelut dengan si laut. Suatu ketika aku dan sahabat-sahabatku mandi menikmati gelombang kecilnya yang lembut. Sebenarnya kami sudah begitu hafal karakter si laut. Ketika gelombang si laut tak meluap-luap, bahkan cenderung tenang. Justru masa seperti itulah si laut mengeluarkan kekejamannya yang terwujud oleh adanya hewan-hewan yang ada di dalamnya. Ubur-ubur muncul, bintang laut berkeliaran, ular laut menampakkan wujud dalam sekali waktu. Namun, dasar watak anak. sudah pun diperingatkan oleh yang dewasa, tetap saja nekat. Wal hasil dengan tanpa berfikir ulang, kami pun nyebur ke lautan luas nan tenang. Baru berapa menit menikmati kesegarannya, tiba-tiba kaki kiriku terasa panas yang sangat. Gerak refleks pun membuatku berlari dari laut sambil menangis. Kulihat kulit kakiku memerah. Dengan kepanikan ku guyur kakiku dengan air tawar dan segera mengobatinya. Baru kusadari bahwa kakiku telah menjadi korban ketakutan si ubur-ubur yang merasa terusik oleh kehadiranku. Dan lukanya telah memberi bekas yang tak hilang ditelan masa. Yah begitulah secuil pengalaman burukku dengan si laut, yang justru menjadi simbol keakrabanku dengannya. So....amazing....

Kini aku merindukan sosoknya... sahabat tanpa nyawa yang menemani masa kecilku sekaligus menjadi saksi bisu atas tumbuh kembangku, perwujudan jati diriku. Walaupun pada akhirnya kemarahan ombaknya telah mengusirku dengan paksa, mulai dari runtuhnya gedung sekolahku hingga lenyapnya rumah yang kutinggali. Tapi kini....puing-puing bekas kemarahannya telah membuatku merindukannya dan selalu mengenang setiap kepingan kisah perjalanan hidup yang kualami bersamanya. Bagiku sangat mengesankan dan tiada duanya.

#Akhirnya kusampaikan: merindumu adalah sebuah kesyukuran....."my java beach"