Setidaknya aku pernah setia menantimu. Aku hafal betul
kapan singgahmu. Detik dimana terik mentari mulai menyengat kulitmu, panasnya
siang tengah menguras keringat hingga dehidrasi barangkali. Kau letakkan kedua
keranjang yang sedari tadi membebani pundakmu. Kau berteduh di bawah hijaunya
daun nyamplung, bersandar pula di batangnya yang cukup besar jika dibanding
dengan tubuhmu yang mulai ringkih. Dan tidak lagi menebak sepertinya, karena
kau selalu tahu kalau aku telah menantimu dibalik jendela rumahku.
Menyaksikanmu duduk di dipinggiran jalan daendels di bawah pohon rindang yang
terletak kurang lebih 50 meter dari depan rumahku itu, menyimpulkan senyum di
bibirku. Segera ku panggil ibuku, dan meminta uang untuk membeli beberapa
bungkus dagangan yang dibawa bapak tua itu untukku.
Engkaulah si Tua yang masih berjuang untuk kehidupan dirimu
dan mungkin juga keluargamu. Ketela pohon alias singkong yang telah berhasil
kau fermentasikan, berasa manis di lidah para pelangganmu. Ya…aku termasuk orang
yang menikmati ketulusanmu. Bapak tua yang selalu menyambutku dengan senyuman,
bahkan kadang gelak tawa mewarnai raut mukamu karena menyaksikannku berlari
kecil ke arahmu. Aku yang masih begitu kecil tak pernah merasa canggung
berbincang-bincang bahkan bercanda denganmu. Karena kau memang tipikal
penyayang anak-anak, hehe mungkin. Karena yang jelas aku merasa nyaman
berinteraksi denganmu. Dan aku merasa bahagia telah mengenalmu.
Yang terkadang bikin aku heran
adalah ketika ku hampiri dirimu dengan maksud membeli tape daganganmu, kau
telah siap dengan bungkusan cantik yang memang sengaja kau sendirikan untukku.
Mungkinkah aku terlalu keGRan??? Hoho tidak juga sepertinya. Karena daun jati
itu telah siap dengan isinya yang mampu mengalahkan rasa nikmatnya roti keju
(baca: karena memang diriku tidak begitu suka keju, J). Haduh Pak tua….mengapakah
kau begitu baik kepada anak kecil sepertiku. Tapi alangkah sayangnya aku tidak
pernah tau kisah hidupmu. Padahal sejak dulu aku selalu penasaran dimana tempat
tinggalmu? bagaimana keadaan keluargamu? Dan bahagiakah dirimu dengan kehidupan
yang kau miliki itu? Tak pernah ada keberanian lebih untuk menanyakan itu semua
kepadamu. Aku hanyalah si kecil yang sekedar mampu berbincang sederhana
denganmu.
Lambat laun seiring bertambahnya
usiaku, kau semakin jarang duduk di bawah pohon itu. Terkadang aku merindukanmu
dan merindukan kenikmatan daganganmu. Rindu senyummu yang ramah terhadapku.
Terlebih lagi saat rumah yang kudiami bersama keluargaku mulai digerogoti oleh
samudra biru, sepertinya saat itulah aku mulai melupakan keberadaanmu. Tak lagi
menanti dan mencari-cari dirimu. Kau Pak tua yang sebenarnya adalah orang asing
di kehidupanku, ketidakjelasan keberadaanmu kini benar-benar membuktikan bahwa
kau memang asing bagiku. Tapi orang asing sepertimu telah menyumbang
pembelajaran yang sangat besar dalam hidupku. Jujur, sabar, dan keramahanmu
membekas dalam ingatanku sampai detik ini kutuliskan kisah kebersamaan denganmu
ini.
Kalau tidak salah hitung, kurang
lebih 13 tahun sudah aku tak mengetahui kabarmu. Sudahkah tubuh rentamu
dipanggil oleh Sang Maha Pencipta? Ataukah nafasmu masih mengiringi
kehidupanmu? Entahlah… hanya do’a dan harapan yang terbaik yang mampu
kupanjatkan kepada Allah SWT untukmu
Si pedagang tape, terkadang
kujumpai orang yang seprofesi denganmu di kota ini. Di kota yang jauh dari
tempat kita bertemu. Di era yang semakin modern seperti saat ini, ternyata
masih ada juga orang-orang yang setia dengan profesi yang sama dengan profesimu
Pak tua. Entah atas sebab apa, yang pasti itulah kehidupan mereka yang layaknya
disebut sebagai generasi penerusmu. Tiap kali aku berjumpa dengan orang-orang
seperti mereka, tiap kali itu pula aku selalu mengingatimu, Pak tua di masa
kecilku. Walaupun sekarang ini aku tidak lagi sebagai penggemar singkong
fermentasi, namun melihat mereka menawarkannya padaku, tak mampu hati, pikiran,
dan bibirku menolak tawaran itu. Karena kau Pak tua turut serta membayangi
mereka.
Seperti halnya tadi siang,
kudapati pedagang tape yang ramah sangat tatkala menawarkan dagangannya
kepadaku. Murah pun harganya, hanya senilai 2 ribu rupiah dijaman serba mahal
seperti saat ini. Kembali peristiwa itu mengingatkanku kepadamu. Hanya saja tak
lagi kudapati senikmat buatanmu dan tak lagi kudpati yang dibungkus dengan daun
jati.
Inilah kisah tape singkong yang
menyumbang kesan tersendiri di episode ceritaku yang telah menjadi skenario
dari Penciptaku untukku. Indah sangat alur cerita ini yang berbalut kesyukuran
atas setiap detik perjalanan. Suhanallah…walhamdulillah….
Thanks to Allah SWT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar