Senin, 14 Januari 2013

“Kisah Tape Singkong”


Setidaknya  aku pernah setia menantimu. Aku hafal betul kapan singgahmu. Detik dimana terik mentari mulai menyengat kulitmu, panasnya siang tengah menguras keringat hingga dehidrasi barangkali. Kau letakkan kedua keranjang yang sedari tadi membebani pundakmu. Kau berteduh di bawah hijaunya daun nyamplung, bersandar pula di batangnya yang cukup besar jika dibanding dengan tubuhmu yang mulai ringkih. Dan tidak lagi menebak sepertinya, karena kau selalu tahu kalau aku telah menantimu dibalik jendela rumahku. Menyaksikanmu duduk di dipinggiran jalan daendels di bawah pohon rindang yang terletak kurang lebih 50 meter dari depan rumahku itu, menyimpulkan senyum di bibirku. Segera ku panggil ibuku, dan meminta uang untuk membeli beberapa bungkus dagangan yang dibawa bapak tua itu untukku.


Engkaulah si Tua  yang masih berjuang untuk kehidupan dirimu dan mungkin juga keluargamu. Ketela pohon alias singkong yang telah berhasil kau fermentasikan, berasa manis di lidah para pelangganmu. Ya…aku termasuk orang yang menikmati ketulusanmu. Bapak tua yang selalu menyambutku dengan senyuman, bahkan kadang gelak tawa mewarnai raut mukamu karena menyaksikannku berlari kecil ke arahmu. Aku yang masih begitu kecil tak pernah merasa canggung berbincang-bincang bahkan bercanda denganmu. Karena kau memang tipikal penyayang anak-anak, hehe mungkin. Karena yang jelas aku merasa nyaman berinteraksi denganmu. Dan aku merasa bahagia telah mengenalmu.
Yang terkadang bikin aku heran adalah ketika ku hampiri dirimu dengan maksud membeli tape daganganmu, kau telah siap dengan bungkusan cantik yang memang sengaja kau sendirikan untukku. Mungkinkah aku terlalu keGRan??? Hoho tidak juga sepertinya. Karena daun jati itu telah siap dengan isinya yang mampu mengalahkan rasa nikmatnya roti keju (baca: karena memang diriku tidak begitu suka keju, J). Haduh Pak tua….mengapakah kau begitu baik kepada anak kecil sepertiku. Tapi alangkah sayangnya aku tidak pernah tau kisah hidupmu. Padahal sejak dulu aku selalu penasaran dimana tempat tinggalmu? bagaimana keadaan keluargamu? Dan bahagiakah dirimu dengan kehidupan yang kau miliki itu? Tak pernah ada keberanian lebih untuk menanyakan itu semua kepadamu. Aku hanyalah si kecil yang sekedar mampu berbincang sederhana denganmu.
Lambat laun seiring bertambahnya usiaku, kau semakin jarang duduk di bawah pohon itu. Terkadang aku merindukanmu dan merindukan kenikmatan daganganmu. Rindu senyummu yang ramah terhadapku. Terlebih lagi saat rumah yang kudiami bersama keluargaku mulai digerogoti oleh samudra biru, sepertinya saat itulah aku mulai melupakan keberadaanmu. Tak lagi menanti dan mencari-cari dirimu. Kau Pak tua yang sebenarnya adalah orang asing di kehidupanku, ketidakjelasan keberadaanmu kini benar-benar membuktikan bahwa kau memang asing bagiku. Tapi orang asing sepertimu telah menyumbang pembelajaran yang sangat besar dalam hidupku. Jujur, sabar, dan keramahanmu membekas dalam ingatanku sampai detik ini kutuliskan kisah kebersamaan denganmu ini.
Kalau tidak salah hitung, kurang lebih 13 tahun sudah aku tak mengetahui kabarmu. Sudahkah tubuh rentamu dipanggil oleh Sang Maha Pencipta? Ataukah nafasmu masih mengiringi kehidupanmu? Entahlah… hanya do’a dan harapan yang terbaik yang mampu kupanjatkan kepada Allah SWT untukmu
Si pedagang tape, terkadang kujumpai orang yang seprofesi denganmu di kota ini. Di kota yang jauh dari tempat kita bertemu. Di era yang semakin modern seperti saat ini, ternyata masih ada juga orang-orang yang setia dengan profesi yang sama dengan profesimu Pak tua. Entah atas sebab apa, yang pasti itulah kehidupan mereka yang layaknya disebut sebagai generasi penerusmu. Tiap kali aku berjumpa dengan orang-orang seperti mereka, tiap kali itu pula aku selalu mengingatimu, Pak tua di masa kecilku. Walaupun sekarang ini aku tidak lagi sebagai penggemar singkong fermentasi, namun melihat mereka menawarkannya padaku, tak mampu hati, pikiran, dan bibirku menolak tawaran itu. Karena kau Pak tua turut serta membayangi mereka.
Seperti halnya tadi siang, kudapati pedagang tape yang ramah sangat tatkala menawarkan dagangannya kepadaku. Murah pun harganya, hanya senilai 2 ribu rupiah dijaman serba mahal seperti saat ini. Kembali peristiwa itu mengingatkanku kepadamu. Hanya saja tak lagi kudapati senikmat buatanmu dan tak lagi kudpati yang dibungkus dengan daun jati.
Inilah kisah tape singkong yang menyumbang kesan tersendiri di episode ceritaku yang telah menjadi skenario dari Penciptaku untukku. Indah sangat alur cerita ini yang berbalut kesyukuran atas setiap detik perjalanan.  Suhanallah…walhamdulillah…. Thanks to Allah SWT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar