Rabu, 03 Oktober 2012

Sang Pemimpin, Bukan Sekedar "Pencitraan"

            Mentari telah menampakkan kilaunya, hangatnya pun telah memenuhi sudut ruangku. Namun entah mengapa, kurasa sengat Matahari pagi ini tak mampu membakar semangat yang biasanya tercipta di setiap pembukaan hariku. Kurasa aku sedikit bermalas-malasan, bukan tanpa suatu alasan. Tapi memang raga ini telah menemui titik lelahnya. Minggu sebelumnya memang jadwal begitu padat, pembimbinganpun cukup menguras otak, hingga tak ada istilah Weekend dalam kamus hidupku kala itu. Bahkan untuk membereskan keperluan pribadiku saja, seperti telah kehabisan waktu. Ho ho ho.. segitunya banget ya???

Namun begitu, bersyukur pula karena alam sadarku mengingatkan bahwa amanah dipundak telah menantikan kesungguhanku. Segera ku bergegas dari tempat yang membuatku menikmati kemalasan. Dalam batinku berkata lirih penuh kebanggaan: "Yes, Aku Menang...!!! Kalah kau Setan Malas....Hahahaha". Akhirnya dengan senang hati kujalani hari itu dengan semangatku yang seperti biasanya. Kuselesaikan setiap tugas satu per satu. 

Jarum jam pun berputar teratur mengiringi alur kerjaku. Ternyata schedule hari itu benar-benar padat, bahkan ada pula yang bertabrakan. Sempat bingung memilih antara menghadiri rapat tim UN atau rapat penentuan hasil seleksi persiapan OSN. Tapi ternyata dibalik kebingunganku, justru membawaku ke problema lain yang harus ku prioritaskan lebih dulu.

Di jam- jam terakhir, sudah tak ada jadwalku untuk mengajar. Sehingga waktuku bisa kumanfaatkan untuk menyelesaikan hal penting lainnya, sebelum kedua rapat itu dimulai. Dengan membawa sejumlah uang yang kumasukkan ke dalam amplop, aku bermaksud menyelesaikan urusan keuangan program seleksi OSN tingkat sekolah itu. Ketika baru selangkah aku keluar dari kantor, tiba-tiba Sang pemimpin menyapaku dengan wajah yang tak kupahami (sedikit deskripsi hasil terjemahanku sendiri hehe....: "nampak muka yang menunjukkan kepanikan yang dipadukan dengan kemarahan"). Kemudian dengan tidak berpanjang lebar, beliau menanyakanku tentang suatu hal. Akupun menjawab dengan sedikit pemahamanku tentang hal yang ditanyakan tersebut. Yang kutangkap kala itu, tanpa meresapi penjelasanku yang belum selesai, beliau lantas memintaku menemui seorang tamu yang terkait langsung dengan problem tersebut. Seperti tak ingin mengambil pusing, beliau pasrah padaku. Aku hanya bisa bengong dalam beberapa menit, berjalan ke arah tamu pun tak kusadari. Tiba-tiba sampai saja. Masuk diruang tunggu itu, aku hanya bisa menyaksikan empat orang terdiam termasuk si tamu. Mereka hanya terpaku dalam ruangan yang makin sunyi. Ku menyapa dengan salam dam senyum... Salam pun terbalas diiringi senyuman getir dari teman kerjaku. 

Benar-benar suasana yang membuatku mati kutu. Dengan mengumpulkan segenap keberanianku, mencoba ku sapa dan ku tanya si tamu. Dengan balasan yang kurang begitu ramah, si tamu (terkesan seperti mengulang sebuah jawaban) mencoba menguraikan dengan penuh kejelasan maksud kehadirannya jauh2 dari pulau sebrang. Atas penjelasannya, membuatku terdiam dan tak mampu menjawab ulang. Oleh temanku mencoba membujuk dan merayu si tamu. Karena melihat ekspresi wajah si tamu yang semakin tidak enak, akhirnya akupun mencoba meminta maaf dan mengakui kesalahan yang telah instansi ini lakukan. Ku coba mengakui keteledoran dan ketidakkompakan kinerja. Untuk kemudian temanku mencoba melobi ulang, berharap si tamu mengerti dan mau berlapang hati. Tapi justru rayuan temanku membuat si tamu menangis karena merasa tak dihargai, telah jauh-jauh datang dengan harapan lebih tapi instansi kami malah membuatnya kecewa. Akupun hanya bisa terpaku menyaksikan airmatanya. Sampai-sampai berasa mau ikutan menangis.

Nuraniku membisikkan "aku tak berdaya lagi untuk mengelak", toh ini memang salah instansi ini. Akhirnya aku dan kedua temanku dengan segala kemampuan dan upaya yang kami miliki berusaha membereskan setiap administrasi yang dibutuhkan si tamu. Pontang-panting kami mencari data, mengumpulkannya hingga merekapnya dengan rapi untuk kemudian di print sesuai dengan yang dibutuhkan. Beruntunglah si tamu begitu sabar menanti kami. Seolah memahami kesulitan yang kami alami.

Yang membuat kami heran dan tak habis pikir, sampai akhirnya membuat kami bertanya-tanya. Sebenarnya salah siapa ini? Si tamu telah menegaskan bahwa seminggu sebelum kedatangannya, dia telah menghubungi pimpinan kami dengan harapan instansi kami punya waktu lebih untuk mempersiapkan dokumen yang dibutuhkan. Tapi kenyataannya tak ada instruksi ataupun pemberitahuan sama sekali dari atasan kepada kami. Lalu, di hari kedatangan tamu justru sang pemimpin berpangku tangan, bahkan meminta kami menghadapi persoalan yang notabennya tidak tau-menau atas maksud awal kedatangan si tamu. Semakin membuatku heran, ketika ada statemen dari beliau bahwa si tamu dikata bikin perkara saja, dan atas perintahnya jika si tamu marah-marah, maka saya di suruh balik memarahi tamu. Mana bisa? Mana tega? Mana logikanya? Padahal instansi inilah yang salah, bukan tamunya. Aku hanya mampu beristighfar dalam batin yang sesak.

Pencitraan itu perlu, namun selayaknya tak menjadi sebuah kepentingan utama. Awalnya wibawa dan budi luhurnya begitu memikat hati setiap bawahannya, termasuk aku. Selalu nampak disetiap kebaikan. Namun tak cukup sekali beliau cuci tangan ketika terjadi komplain maupun kritikan. Justru seolah segala kesalahan itu muaranya kami. Padahal setauku seorang pemimpin akan senantiasa membersamai bawahannya dalam situasi apapun. Sekalipun kesalahan itu bersumber dari bawahannya, tetap saja sang pemimpin tak boleh lepas tangan. Tapi hari itu, cukup membuatku tidak respect lagi dengan beliau. Bagiku hari itu sebagai kesalahan terfatal hingga membuat wibawanya jatuh di mataku.
Afwan....kusampaikan.
Hanya orang-orang munafik yang mementingkan pencitraan di hadapan manusia.
Akhirnya berharap kepada setiap pemimpin memahami dan menyadari betul bahwa amanahnya, tak hanya dipertanggungjawabkan di dunia saja, namun juga di akhirat kelak.

#sebagai renungan bagi diri sendiri pula yang juga menjadi sosok "Sang Pemimpin" bagi diri sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar